“Dari sini sudah tidak ada angkot lagi, kamu harus naik
ojek.” Ucap si abang angkot.
Saya menoleh kiri-kanan, depan-belakang, atas-bawah, mencari
kehadiran sesosok abang-abang tukang ojek yang bisa mengantarkan saya ke Situs
Gunung Padang.
Nihil.
Sebuah papan penunjuk bertuliskan “Situs Gunung Padang 7 Km”
mantap berdiri tegak dihadapan saya seolah berucap, “Hayo, kuat, gak, jalan ke
Gunung Padang? Cuma 7 Km aja, kok, cyin!”
Tak punya pilihan, saya menerima tantangan itu. 30 menit
berjalan, kaki saya mulai merengek manja. Mungkin saya kuat berjalan dari
Grogol ke Monas dengan jalan kaki non-stop, tapi saya lupa ini adalah jalanan
pegunungan yang menanjak—menjurus ke curam.
“No, Gue gak kuat. Ampun!” *Mewek di pinggir jalan sambil
ngemil daun teh.*
Sadar; menangis bukanlah solusi, saya pun mencoba melakukan
sesuatu yang sebelumnya belum pernah saya coba yaitu; Hitchhike, bahasa
tagalog-nya nebeng.
FYI, banyak alasan kenapa orang melakukan hitchhike:
- Budget traveling yang cekak
- Pengen SKSD (Sok Kenal Sok Demen) dengan penduduk sekitar
- Mau nyobain gimana rasanya jadi orang suseh
- Punya niat buat ngerampok (kek gini, nih, yang patut di tumpas)
- Terpaksa karena memang gak ada angkutan umum.
Nah, alasan terakhir adalah my real reason. Karena apa?
Biarpun saya kere tapi, jujur, kalo masih ada angkutan umum, saya gak bakalan
mau nebeng. Selain nyusahin yang kasih tebengan, juga ngeri, cyin... Iya kalo
yang ngasih tumpangan orang baek-baek, kalo dia homo gimana? (Gue, donk, yang
kesenengan? #eh).
Percobaan pertama:
Belum juga ngacungin jempol, seorang abang-abang dengan
motor matic-nya menghampiri saya. Saya tersenyum sumringah kege-eran.
“Mas, Ini jalan ke Gunung Padang, yah?” Tanya si abang
penasaran.
Saya hanya mengangguk karena kecapekan sampai gak bisa ngomong.
“Oke, thanks, ya!” Tanpa menawari tebengan, si abang dengan
cekatan mengegas motornya dan meninggalkan saya dalam keadaan nestapa.
Gagal dengan percobaan pertama, saya melanjutkan perjalanan.
Ketika kaki mulai ngambek, saya pun memulai percobaan kedua.
Percobaan kedua:
Dari kejauhan tampak sebuah mobil mewah (tipikal mobil
petualang pembelah gunung) mantap melaju dengan kecepatan yang-sedang-sedang-saja.
Saya mulai mengacungkan titit jempol untuk pertama kalinya dalam
blantika per-traveling-an saya.
“JEPREEET!” Di luar dugaan, seorang penumpang mengeluarkan
kamera dari dalam mobil, sementara penumpang lainnya malah cekikikan melihat
saya. Mobil itu pun terus melaju meninggalkanku dalam kondisi kuyu dan layu.
*Nangis lagi. Cengeng lagi*
“Yaoloo, tega beneerr!” Saya menjerit sambil dalam hati
mengutuk mereka supaya cepat insaf. #KutukanVersiPenyayang
Percobaan ketiga:
Beteweh, sulit memang mencari terbengan di daerah pegunungan
seperti ini; mobil jarang, kalau ada pun jarang yang mau nebengin, motor lebih
banyak, sih, tapi kebayakan malah gas-pol kalang kabut ketika melihat ada orang minta
tebengan. Somebody, please helep! Masih 5 Km lagi, nih!
Sejumput harapan tiba; tak ada mobil mewah, mobil pikep pun jadi. Kali ini target
saya harus dapet tumpangan, kalo perlu saya akan cegat mobil tersebut dengan pura-pura
pingsan di tengah jalan. Kelindes urusan belakangan.
Saya mulai mengacungkan jempol—sambil digoyang-goyangin
dikit (biar sopirnya terpana).
SRET. Si mobil pikep gundul itu
pun berhenti.
“Akang, lewat Gunung Padang, euy?”
Tanyaku sambil sok menggunakan logat sunda—yang malah kedengaran seperti suara bencong kena
sariawan karena kebanyakan makan gorengan tempe mendoan.
Si abang mengangguk kalem.
IYES!
Anyway, si abang pun akhirnya mengantarkan saya sampai pintu
gerbang kemerdekaan Situs Gunung Padang. Setelah bilang, “Hatur nuhun”
dan cipika-cipiki ke abangnya, saya pun akhirnya bisa menjejakkan pantat di
Maccu Picchu-nya Indonesia!
Yeayy! *nari bugil sambil Mamaos*
Mamaos adalah seni mendendang yang biasa di sebut tembang sunda Cianjur atau juga tembang Cianjuran. Seni Mamaos ini gak lepas dari cikal bakal berdirinya Kabupaten Cianjur. Ketika ke Cianjur saya sering sekali mendengar kesenian ini dipentaskan baik di acara kawinan, syukuran atau pun acara-acara lainnya. Bahkan ketika masuk Kawasan Situs Gunung Padang, tontonan live show-nya, ya, Mamaos ini. Ciri khas Mamaos ada di nadanya yang meliuk-liuk tajam dan menghujam sanubari. Indah banget!
Sepulang dari Situs Gunung Padang, perasaan saya kembali kalut,
karena harus nyari tebengan lagi untuk sampai ke kota. Beberapa langkah keluar
dari Gerbang Situs, sebongkah (lagi) mobil pikep muncul dengan elegan dari
kejauhan. Jempol saya pun kembali bergoyang.
Sang mobil pikep berhenti, tanpa bertanya mau kemana (toh
jalanannya cuma ada satu dan pastinya semua mobil bakal menuju ke kota), saya
pun langsung duduk cantik di bak belakang mobil.
Mobil melaju cukup ugal-ugalan, sambil asyik makan biskuit
bekal, saya pun nyanyi-nyanyi lagu India sembari menikmati pemandangan pegunungan lengkap
dengan perkebunan tehnya yang holly-shit indahnya. But then...
GUBRAK!!!
GRADAKK!!!
GLODIAKK!!!
MAK PYEK!!!
Tubuh bohay saya terpental-pental bak bola kasti yang dimainin
banci. Mobil pikep ini ternyata keluar dari jalanan utama dan mengambil rute
lain dengan kondisi jalanan yang hancur mumur.
“OMEGOT! Gue mau di bawa kemana, nih?” Saya ketakutan.
(Seperti biasa) Pikiran-pikiran buruk mulai timbul seperti, “Jangan-jangan gue
mau di jual untuk selanjutnya dijadikan sinden Mamaos.” AKKKK!!!
Sempat terbesit keinginan untuk loncat dari mobil, tetapi
saat ini jalanan sudah terlampau jauh dengan pemukiman dan kehidupan manusia,
ladang teh pun sudah berganti dengan hutan lebat. Horror abis!
“Hfffff... Hhhhhhhh” Saya menarik nafas panjang untuk
menenangkan diri sambil sholat tahajud minta pertolonganNya. -_-“ (Ya, kaleus,
sholat tahajud di atas pikep)
Doa saya akhirnya terkabul, setelah setengah perjalanan yang
mencemaskan, akhirnya mobil keparat ini mulai memasuki kawasan pedesaan. Denyut
nadi pedesaan khas sunda bisa saya rasakan di sini; saung-saung, rumah khas
sunda dengan kubangan puluhan kerbau di samping rumahnya. Sontak, perasaan parno yang
menghantui saya selama perjalanan pun berubah menjadi perasaan damai dan
permai.
“BAWA AKU KEMANA PUN KAU PERGI, KANG!!!” Teriakku dari
belakang bak mobil.
Setelah 1 jam membawa saya melewati berbagai pelosok pedesaan
unik di kawasan pasundan, Cianjur, mobil pikep itu pun akhirnya berhenti.
Saya pun turun dari mobil.
“Aa’ mau kemana?” Tanya si abang.
“Mau ke terminal, atuh, kang.” Jawabku
“Terminal mana?”
“Terminal Cianjur.”
“Ini Sukabumi, Aa... bukan Cianjur.”
“TOMPEL CACING KREMIIIIII! “
Kutukku dalam hati.
Hitchhike Rules:
Namanya juga nebeng, jadi, suka-suka yang ngasih tebengan,
donk, mau nurunin dimana. Huvft!
Nebeng cengeng |
Dimana-mana kebun teh |
Pengen syuting FTV, sayang kesininya gak sama kamu. :3 |
Bocah-bocah penjaja minuman |
Akang-akang juru kunci Situs Gunung Padang |
Menjejakkan pantat di Gunung Padang |
Temen nebeng cengeng (bapak penjual kain) sewaktu balik |