Hidup
tak ubahnya ombak samudra; kadang tenang, kadang berombak ganas. Kadang kita diatas, kadang kita di bawah (paling
suka yang ‘tengah-tengah’, sih). Kadang kita melambung tinggi, kadang kita
terperosok ke lembah nista (comberan got-Red). Kadang suka, kadang duka (Kalo dalam bahasa
India: Kabhi Khushi Kabhi Ghum. [Lho?]). Kadang beruntung, kadang sial. Keduanya
selalu datang silih berganti. Tak jarang beriringan.
2
bulan ng-eksis di Jakarta memaksa saya untuk bersahabat dengan transportasi
kebanggaan Jakarta, Baswe. Malam itu, sehabis mengunjungi beberapa museum di
Jakarta, seperti
biasa kita harus menunggu sang pujaan hati tiba, baswe. Badan rasanya udah mau
rontok, pegal semua, ditambah ransel yang lumayan berat, di tambah hujan, di
tambah gue jomblo, menjadikan malam itu malam yang...—ibarat penyakit kangker,
udah “stadium 21”/ibarat gunung, statusnya “ERUPSI”—Mematikan.
Belum
juga baswe datang, triliyunan penumpang lain pun mulai mengerubuti dan menyerbu halte.
Demi keamanan barang bawaan, saya pun mencoba merubah posisi ransel dari posisi
belakang ke depan, dari pundak ke dada, biar bisa di peluk gitu (lumayan 'helpful',
sih, buat gue). Ketika saya mulai merenggangkan sikut--dalam upaya
merubah posisi ransel di tubuh saya--, tiba-tiba...
Sikut
saya menyenggol sesuatu, hampir tak terasa karena saking lunaknya (tadinya mau
ngetik “saking empuknya” tapi gak jadi). Mendengar suara "Awwwwww"
tersebut, saya lantas menoleh ke belakang mencari jawaban atas rasa penasaranku
itu, dan hasilnya: Tampak seorang cewek dengan rambut di kuncir plus riasan
wajah yang lumayan menor—penting, yah, bahas riasan wajah?—tampak kesakitan
sambil memegang (sorry, ehm) dadanya. Ini adalah kejadian yang selama ini
saya takutkan (tadinya mau ngetik “yang
selama ini saya idamkan” tapi gak jadi). Saya pun kaget setengah modar sambil salting
berkata,
"Eh,
mbak, sorry... Gak sengaja. Sorry, yah?"
Si cewek apes—yang kesuciannya terenggut
oleh sikut binalku—itu hanya membisu sambil memasang muka cemberut, dan selanjutnya melenggang
pergi. Dua pemuda di belakangku tampak cekikikan melihat kejadian tersebut.
Saya pun tak kuasa menahan tawa. Sampai akhirnya kami bertiga pun ngakak sejadi-jadinya.
Apakah ini kesialan? keberuntungan? Atau kombinasi keduanya? I dunno. Menurut lo?
--------
Tiket
gratisan—hasil menang kuis di fesbuk (Hoki banget , kan, gue!)—itu kupegang
erat-erat sembari menuju pintu masuk. Iya, inilah pertama kalinya anak kampung
melihat wahana bermain paling hip di Indonesia, Dupan. Maklum kalau bukan
karena gratisan, saya gak mungkin bisa/mau ke tempat seperti ini (mehong,
cyin!).
Seperti
yang ada di khayalan saya, disini, kita bisa sepuasnya mencoba wahana; mulai
dari Istana boneka (sumpah, yang ini gak recommended banget, deh, buat cowok jomblo yang
dateng sendirian), roller coaster, histeria, olang-aling, tornado, halilintar, puling
beliung, dll. Mumpung gratisan saya pun memproklamirkan diri bahwa, “Gue harus
coba semuanya!”
“HUAAAAAAAA!!!!
HUAAAAAAA!!!!”
“HAHAHAHAHHA!!!!”
“AHAHAHAHAHA!!!!”
“MUKE LO KEK TAHU GEJROT PAS TADI DI ATAS!”
“DARIPADA MUKE LO; KAYAK SELAKANGAN BANCI!”
“AHAHAHAHAHA!!!!”
“HAHAHAHAHHA!!!!”
“HAHAHAHAHHA!!!!”
Dialog di atas adalah sepenggal percakapan antara segerombol pemuda selepas mencoba wahana disana. Karena saya datengnya sendirian, saya pun cuma bisa 'sok' ikut-ikutan ketawa bareng mereka,
“HAHAHAHAHAHAHAHA!”
“.....................”
Keadaan pun seketika menjadi silent-mode. Dan mereka meninggalkanku kesepian di tempat seramai ini. Perih. *peluk badut Dupan*
Keperihan itu semakin menjadi ketika tanpa sengaja tanganku kembali menyenggol sesuatu sehabis naik roller coaster (disini namanya apa gue lupa).
“ADUH!”
Saya menengok ke belakang untuk memastikan keadaan, sambil berharap “semoga kejadian halte busway (di atas) tidak terulang kembali.”
"Eh, mbak, sorry... Gak sengaja. Sorry, yah?"
Cewek tersebut masih terdiam sambil megang—lagi-lagi—dadanya (DOSA APA GUE, YAOLOOOH! POTONG SIKUT GUE, YA OLOH! POTOOOONG!!!) Saya pun sekali lagi memelas minta maaf,
“Aduh, sorry banget, yah, mbak... Beneran tadi gak sengaja, lho... Tapi gak sakit, kan, mbak?”
Sepersekian detik setelah pertanyaan itu terlontar, saya baru sadar kalo itu adalah pertanyaan paling bodoh sebodoh-bodohnya. Benar saja, si cewek itu akhirnya menjawab dengan nada pedas,
“Bukan masalah sakit-atau-enggak-nya, TOLOL!!!”
Mukaku mulai memerah bak kepiting goreng di-saosin.
“HEY, HEY! ADA APA INI?”
DEG! Tiba-tiba seorang cowok dengan perawakan tinggi besar berewokan menghampiri cewek tersebut.
“Kenapa, SAYANG?”
HEH? "SAYANG?" Modar! Ternyata si cewek tersebut membawa seorang ‘HERDER’! Selama beberapa saat terjadilah percakapan singkat antara si cewek dan ‘HERDER’-nya. What's next? Nenek-perawan-yang-lagi-sekarat-karena-stroke pun sudah bisa menebak apa yang akan terjadi:
“MAS! TADI TU MAKSUDNYA APA? HAH?” Si ‘Herder’ menghampiri ku sambil mendelik.
“Tett... Tetadi gak sengaja nyenggol, mas. Sorry.”
Tampaknya gak ada kata lain yang bisa keluar dari bibir sensuwal-ku ini selain kata "Sorry." Baru kali ini saya merasakan yang namanya such a feeling like ”sakaratul maut”. Maut rasanya dekeeet banget!
“HENAK AJA SORRA-SORRY, MAKSUD LO APAAN?!!” Nada si ‘Herder’ makin meninggi. Kali ini sambil nodongin titit jari telunjuk.
“Anu.. ya, kan, gak sengaja, mas... Ss...Sorry, laa...”
“MAK TLEPOKKKKK!”
Bogem mentah Si ‘Herder' pun bersarang manja di mukaku yang cabul ini.
HFFAAAAAAAAKKKK!
Suara rodanya yang bikin serem. #Kapok |
Bianglala, biangkeringat, biangkeladi, biangkerok, |
Ini namanya Tornado, bukan, yah? #Lupa #FaktorU |
Histeria bikin histeris. |
Gue nyebutnya, "Komidi putar" |