Hidup
tak ubahnya ombak samudra; kadang tenang, kadang berombak ganas. Kadang kita diatas, kadang kita di bawah (paling
suka yang ‘tengah-tengah’, sih). Kadang kita melambung tinggi, kadang kita
terperosok ke lembah nista (comberan got-Red). Kadang suka, kadang duka (Kalo dalam bahasa
India: Kabhi Khushi Kabhi Ghum. [Lho?]). Kadang beruntung, kadang sial. Keduanya
selalu datang silih berganti. Tak jarang beriringan.
2
bulan ng-eksis di Jakarta memaksa saya untuk bersahabat dengan transportasi
kebanggaan Jakarta, Baswe. Malam itu, sehabis mengunjungi beberapa museum di
Jakarta, seperti
biasa kita harus menunggu sang pujaan hati tiba, baswe. Badan rasanya udah mau
rontok, pegal semua, ditambah ransel yang lumayan berat, di tambah hujan, di
tambah gue jomblo, menjadikan malam itu malam yang...—ibarat penyakit kangker,
udah “stadium 21”/ibarat gunung, statusnya “ERUPSI”—Mematikan.
Belum
juga baswe datang, triliyunan penumpang lain pun mulai mengerubuti dan menyerbu halte.
Demi keamanan barang bawaan, saya pun mencoba merubah posisi ransel dari posisi
belakang ke depan, dari pundak ke dada, biar bisa di peluk gitu (lumayan 'helpful',
sih, buat gue). Ketika saya mulai merenggangkan sikut--dalam upaya
merubah posisi ransel di tubuh saya--, tiba-tiba...
"Awwwwww"