40 Ribu = Petromak

Tweet

"Bu, itu goa boleh dimasukin?" Saya bertanya kepada seorang ibu penjaga kios.

"Boleh, Dek." Jawab si ibu dengan ramah seramah pramugari yang sedang masa training.

"Bayar berapa bu?" Saya penasaran donk!

"Empat puluh ribu." Jawab si ibu agak malu-malu dengan pandangan sayu. sayu asem.

Naluri Kere saya pun muncul, TAWAR! "30 puluh rebu ya, Bu? kan kami bertiga. jadi per orang 10 rebuan gitu."  tawar saya sambil pasang muka Pussycat.

"Wah, itu udah pas, dek. Maklum harga spirtusnya juga mahal" Si Ibu kekeuh pada pendirian.

Sepintas acara ini lebih mirip ibu-ibu yang lagi nawar kutang idaman di pasar. Eh tapi Spirtus buat apa ya? 

"Hah! Spirtus?! Spirtus buat apa, Bu?" Saya tambah ngah ngoh karena gak ngeh.

"Nah, kalo mau masuk gua kan harus pake lampu, lampunya pake lampu petromak jadi bahan bakarnya pake spirtus!"

Saya tercengang sampe ngangkang. Jadi masuk gua cuma pake lampu petromaks doank nih? Emang gak ada senter atau sokle gitu? Kita kan bayarnya gak murah, EMPAT PULUH REBU GITU LOH! masa cuma pake lampu petromak? ah tau gini saya akan bawa obor olimpiade dari rumah. huh!

"Kan duitnya buat bayarin pemandunya juga, Dek..." Timpal si ibu seolah membaca uneg-uneg busukku dengan pandangan 'LU KERE APA PELIT?'

Setelah kami bertiga (Saya, Agista, Tia) berdiskusi akhirnya kami deal dengan harganya. Sayapun ber-gimme-five sama si ibu sebagai tanda sepakat! *TOSS UNYU*

Si ibu akhirnya menyuruh bocah-bocah yang dari tadi berkeliaran disekitar kios untuk memanggil sang pemandu susur gua.

Sambil menunggu, kami bersiap-siap. Sialnya kami bener-bener salah kostum, Masa' mau caving malah pake baju buat fesyen show? dan kami bertiga  terpaksa nyeker, karena sayang kalo sepatu nge-moll kami harus berlumur lumpur.

"Kira-kira boleh nyeker gak mas?" tanyaku kepada mas pemandu yang baru datang sambil membawa amunisi yaitu lampu petromak siap tempur.

"Gak bahaya kan mas? gak ada beling kan? gak ada duri kan? gak ada ular kan?" Bermiliyaran pertanyaan bergumul dalam benak kami.

"Gak papa, didalem gak ada beling kok paling cuma lumpur." Jawab mas pemandu dengan sabar dan istiqomah.

Setelah acara testing petromak selesai, kami pun dengan binal tanpa sandal masuk ke goa. Oya, namanya adalah Goa Mbultuk!

Info dikit ye:
Goa Mbultuk, Goa sepanjang kurang lebih 3 km - terletak 30 km dari kota Blitar, tepatnya di Desa Tumpak Kepuh, Bakung, Blitar Selatan. Kalau kesini bisa sekalian mampir ke Pantai Pangi, Pantai Tambak Rejo plus Monumen Perjuangan Trisula.

"Nama sampean siapa, Mas?" Saya pengen kenalan donk sama guide.

"Paito." Jawabnya singkat.

"Mas, yakin nih cuma pake petromak? Kalo tiba-tiba mati didalam gua gimana?" Tia bertanya was-was penuh cemas pengen diremas.

"Gak kok asal jangan kelamaan didalam, lampu ini cuma bertahan 1 jam, jadi sebelum 1 jam udah harus keluar!"

*HENING*

HOLY SHIT! Ternyata air di dalam gua cukup dalam, hingga mencapai dada (dada saya ya! Bukan dada jupe) Sialnya, kami lupa untuk membungkus barang berharga didalam ransel pake plastik. Jadi terpaksa ransel kami taruh diatas kepala - mirip gadis Bali lagi bawa sesaji diatas kepala. 

Catatan: Ketika memasuki puncak musim hujan Gua ini ditutup untuk umum.

Gua Mbultuk, meski namanya terdengar aneh, dan bila dilihat dari mulut goa bentuknya memang gak ada bagus-bagusnya, tapi kalo sudah masuk wuiiiiiiiiiiiih, GELAP! Yaeyalah! :D

Begitu nyemplung gua kami disambut oleh pemandangan gua yang  mempesona CTAR mebahana badai katrina sandy aulia. Banyak stalagtit dan stalakmit yang seolah bilang 'HWOY CYIN FOTOIN KITA DONK!'. Bentuk dan nama batuan goanya pun macem-macem, ada yang berbentuk lancip, tumpul, lonjong bulet-bulet, kotak, jajar genjang, dll. Bahkan ada yang mirip (ehm) *nelen ludah* (sori to say) payudaya cewek (Emang pernah lihat, Hans? OKE FORGET IT!). Yang paling saya suka adalah sebuah bebatuan yang bisa kelap-kelip gitu deh kek lampu disco kehabisan karbit, kalo gak salah namanya batu permata tapi bukan permata beneran! Ada juga Batu Gong yang kalo kita getok pake tangan akan berbunyi mirip Gong. Batu seperti ini juga bisa ditemukan di Gua Gong, Pacitan.

Saya menyesal setengah banci karena gak bawa kamera (tepatnya, gak dapet pinjeman kamera), jadinya saya cuma bisa ambil gambar pake hape, itu pun hanya dengan penerangan petromak sialan itu. :(

Ohya kalian pernah lihat film thriller berjudul The Descent? kurang lebih seperti itulah daleman goanya. Saya berharap disini gak ada makhluk seperti di filem itu. Amit-amit!

Seperti di filem, medannya pun gak melulu datar, sesekali kami harus ndelosor-ndelosor masuk ke lubang gua yang sempit. Yang paling mendebarkan adalah ketika akan melewati sebuah kubangan - yang katanya sedalam 5 meter - dan kami hanya disediakan pegangan berupa seutas tali tambang yang tergantung diatas kubangan itu supaya kami gak kelelep.  Benar saja, ketika sedang bergelantungan kaki saya sama sekali tak bisa mengentuh dasar kubangan. Yang nongol hanya kepala dan tangan seraya megangin tambang.

Si Tia yang biasanya tomboy, pemberani dan maco mendadak cengeng dan manja. Dia sama sekali tak mau lepas dari pegangan Mas Paito. Takut apa doyan nih? 

Naas bagi saya dan Agista yang sempet jatuh bangun, kepleset, kejedok atap gua, tersandung sampai akhirnya tersanjung karena setiap kita terjatuh selalu  ada yang nolongin. Mereka adalah bocah-bocah lokal yang ternyata secara diam-diam mbuntutin kami dari belakang. What a nice boys!

"Mau, foto disini?" Tanya Mas Paito.

Kami bertiga kompak teriak "Mau pake banget!"

Mas Paito tu emang baik, tidak sombong dan beol pada tempatnya. Dia rela melayani nafsu birahi berfoto kami. Dengan setia Si mas megangin petromak yang juga berfungsi sebagai lampu sorot di sesi pemotretan najis ini. 

Hihihi, kalo dipikir-pikir uang 40 rebu itu gak ada apa-apanya dengan jasa dan perjuangan Mas Paito plus bocah-bocah pemberani itu!

BYUR!

Semuanya nyebur dan berenang-renang kegirangan di kubangan sedalam 5 meter itu, sayang kami bertiga cuma bisa mimisan karena gak bisa renang. Sialan!

Catatan: Oya, setelah menulis artikel ini saya sempet browsing informasi tentang Gua Mbultuk, ternyata gua ini dulunya pernah digunakan sebagai tempat persembunyian oleh para anggota G30S/PKI yang dulu pernah menguasai daerah ini. Pantas saja medannya sulit gini. It's a perfect hide-away! Hiii... 

Si Agista memasuki mulut goa dengan backpack di kepala.

Cuma pake petromak.

Dengan sabar Mas Paito megangin petromak demi sesi foto binal mereka, Dasar wisatawan tak tau diri!